Langsung ke konten utama

Prosedur Penerbitan HGB di atas HPL

Pengertian HGB dan HPL

Hak Pengelolaan ("HPL") adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya, sebagaimana didefinisikan oleh Pasal 1 angka (2) PP No. 40/1996.

Hak Guna Bangunan ("HGB") adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri selama jangka waktu tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA. HGB diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun. Sesudah jangka waktu HGB dan perpanjangannya berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan HGB di atas tanah yang sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 PP No. 40/1996.


Prosedur Penerbitan HGB di atas HPL
  1. Permohonan HGB di atas HPL, pemohon harus membuktikan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pemohon HGB di atas HPL harus terlebih dulu memperoleh penunjukan berupa perjanjian penggunaan tanah dari Pemegang HPL. Permohonan diajukan tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor BPN. Permohonan sesuai contoh Lampiran 2 Permenag No. 9/1999;
  2. Pemeriksaan permohonan HGB, setelah berkas pemohon diterima, Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan HGB sebagaimana dimaksud di atas dan memeriksa kelayakan permohonan;
  3. Pemeriksaan Tanah, Panitia Pemeriksa Tanah atau tim penelitian tanah atau petugas yang ditunjuk, melakukan pemeriksaan tanah dalam rangka penyelesaian permohonan;
  4. Keputusan Pemberian HGB di atas HPL, Pemberian HGB atas tanah HPL dapat dilaksanakan dengan keputusan pemberian hak secara individual atau kolektif atau secara umum. Pemberian hak secara individual adalah pemberian hak atas sebidang tanah kepada (i) seseorang, atau (ii) sebuah badan hukum tertentu, atau (iii) beberapa orang atau badan hukum secara bersama sebagai penerima hak bersama yang dilakukan dengan satu penetapan pemberian hak. Sedangkan yang dimaksud dengan pemberian hak secara kolektif merupakan pemberian hak atas beberapa bidang tanah masing-masing kepada (i) seseorang atau (ii) sebuah badan hukum atau (iii) kepada beberapa orang atau badan hukum sebagai penerima hak yang dilakukan dengan satu penetapan pemberian hak. Pemberian HGB dilakukan oleh Menteri, di mana Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada (i) kepala kantor BPN di tingkat provinsi, (ii) kepala Kantor Pertanahan, dan (iii) pejabat yang ditunjuk. Namun, keputusan pemberian HGB atas tanah HPL diberikan oleh kepala Kantor Pertanahan.
  5. Pendaftaran HGB, untuk keperluan pendaftaran, maka hak atas tanah baru dibuktikan dengan penetapan pemberian hak dari pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah HPL;
  6. Pembukaan Hak, Berdasarkan penetapan pemberian hak, penetapan pemberian HGB yang bersangkutan dibukukan dalam buku tanah;
  7. Penerbitan Sertifikat, Terhadap HGB akan diterbitkan sertifikat apabila sudah didaftar dalam buku tanah dan telah memenuhi syarat-syarat untuk diberikan tanda bukti haknya di antaranya: (i) Data fisik dan data yuridis telah didaftar dalam buku tanah; dan (ii).   Tidak terdapat catatan di dalam buku tanah yang menyangkut (a) data yuridis yang belum lengkap, (b) data fisik maupun data yuridis disengketakan tetapi tidak diajukan gugatan ke pengadilan, (c) data fisik dan data yuridis disengketakan dan diajukan ke pengadilan tetapi tidak terdapat perintah dari pengadilan untuk status quo dan tidak ada putusan penyitaan dari pengadilan, (d) data fisik atau data yuridis disengketakan dan diajukan ke pengadilan serta ada perintah dari pengadilan untuk status quo atau putusan penyitaan dari pengadilan, sehingga mengakibatkan penangguhan penerbitan sertifikat sampai catatan yang bersangkutan dihapus.

Author: Bagaskoro Rizky Pradana, S.H.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan UU No. 11 Tahun 2008 (UU ITE) dengan UU No. 19 Tahun 2016 (Perubahan UU ITE)

Perbedaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Oleh: Bagaskoro Rizky Pradana, S.H. Pada tahun 2016, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“ UU 19/2016 ”). UU 19/2016 tersebut dikeluarkan pemerintah untuk melengkapi kekurangan yang ada pada pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“ UU 11/2008 ”) yang cenderung multitafsir dan tumpang tindih dengan peraturan hukum lain. Adapun perubahan yang terdapat dalam UU 19/2016 sebagai berikut: Pasal Perubahan Pasal 1 Penambahan 1 angka, yaitu definisi mengenai “Penyelenggara Sistem Elektronik” Pasal 26 Penambahan 3 ayat,

Prosedur Permohonan Pernyataan Pailit

Prosedur Permohonan Pernyataan Pailit Oleh: Bagaskoro Rizky Pradana, S.H. Prosedur Permohonan Pernyataan Pailit Prosedur permohonal pailit dalam Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan (“ UU 37/2004 ”) adalah sebagai berikut: 1.                   Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera . (Pasal 6 ayat 2). 2.                   Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan, pengadilan menetapkan hari sidang. 3.                   Sidang pemeriksaan dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan (pasal 6). 4.                   Pengadilan wajib memanggil Debitor jika permohonan pailit diajukan oleh Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal a